KEMAMPUAN berbahasa mencerminkan pribadi seseorang. Jika kemampuan berbahasa menggunakan bahasa yang baik dan penuh kesantunan, akan mencitrakan pribadi yang baik dan berbudi. Berbahasa santun pada dasarnya adalah keterampilan, yang merupakan akumulasi dari penghayatan terhadap nilai atau dengan kata lain, adalah bentuk tingkah laku yang telah melalui proses penghayatan dan pemaknaan terhadap norma luhur. Sebagai bahasa, kesantunan itu harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks komunikasi sosial. Karena itu, pendidikan terkait bertutur kata atau menyampaikan gagasan melalui media, perlu dilaksanakan secara praktis dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, pembinaan bahasa santun adalah pembelajaran yang aplikatif sekaligus kongkret manfaatnya.
Dilihat dari segi keterampilan, berbahasa santun merupakan keterampilan yang harus dimiliki setiap orang sebagai warga dan anggota masyarakat yang bertata nilai. Bahasa santun menjadi ciri manusia yang memahami dan menghayati norma budaya dan agama. Orang yang berbahasa santun akan mampu menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat sebagai elemen yang baik dan dapat diterima khalayak.
Pada era digital seperti saat ini, pengaruh penggunaan bahasa sudah tidak bisa dihindarkan. Munculnya bahasa-bahasa gaul atau alay sangat mudah diakses melalui internet atau bisa melalui media sosial yang merebak di kalangan pelajar. Bahkan, tidak hanya bahasa-bahasa gaul dan alay saja yang kita sering jumpai. Akan tetapi, tidak jarang di media sosial kita menjumpai istilah “membully” yaitu, di mana orang-orang saling menghujat dan berbicara kurang sopan dengan menjatuhkan lawan bicara. Hal yang dianggap salah (bagi mereka) akan mendapatkan hujatan seakan kesalahan itu wajar untuk dihina.
Bagi mereka, bahasa-bahasa tersebut terkesan unik dan menarik. Padahal, penggunaan bahasa-bahasa gaul dan alay tersebut memberikan akibat pemilihan kosa kata yang tidak wajar dan tidak sesuai jika diterapkan dalam masyarakat, khususnya dalam lingkungan pendidikan. Hal ini memberikan kesan bahwa tidak adanya norma atau etika dalam berbahasa jika penggunaan bahasa tersebut dilakukan pada guru, orang tua, atau orang yang lebih tua dalam masyarakat.
Keteladanan Anak Semua orang pasti memimpikan anak-anak atau generasi penerus yang baik. Termasuk, baik dalam berbahasa. Lebih dari itu, para bibit unggul bangsa itulah yang bakal memenuhi negeri ini di masa datang.
Terwujudnya pendidikan santun berbahasa bermula dari keteladanan, baik keteladanan dari guru ataupun dari orang tua. Di lingkungan sekolah, keteladanan guru sangat diperlukan dengan cara menggunakan bahasa santun dalam mengajar atau dalam berinteraksi dengan siswa. Jika guru memberikan contoh cara berbahasa yang santun, maka
siswa akan mengikuti apa yang diucapkan dan dilakukan oleh gurunya. Jadi sumbangsih guru dalam pembentukan karakter siswa dapat diwujudkan dalam kebiasaan santun berbahasa.
Tidak hanya di sekolah, peran orang tua juga ikut memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan karakter berbahasa anak. Orang tua dapat memberikan tuntunan berkomunikasi dengan memilih kosakata yang bagus dan santun saat berbicara dengan anak. Hal ini juga bisa diperkuat dengan mengajarkan anak menulis dan memberikan bahan bacaan yang baik.
Dengan demikian kita berharap generasi muda saat ini akan terhindar dari budaya bahasa gaul, alay, atau kadang terkesan kotor yang banyak tercermin dalam media sosial. Perlu adanya sinergi dalam membekali anak dengan pendidikan santun berbahasa agar menjadi habituasi yang positif untuk menekan pengaruh budaya yang kurang baik di zaman kekinian.
Artikel oleh Bapak Siswandono Hantoyo Putro, S.S. telah terbit di surat kabar Jateng Pos edisi Sabtu, 8 Agustus 2020 Halaman 7
Tidak ada komentar